Umat Kristen Akhiri Nikah Paksa - Perjuangan Baru untuk Hak Anak
Perempuan di Pakistan
Introduction
Di balik kabut pagi yang menggantung di atas lembah Pakistan, terselip
cerita-cerita pilu dari anak-anak perempuan yang terjebak dalam bayang-bayangpernikahan paksa. Namun, di tengah gelapnya penindasan ini, muncul secercah
harapan dari putusan Pengadilan Punjab. Seperti embun yang membasahi tanah
kering, perjuangan umat Kristen untuk mengakhiri praktik kejam ini mulai
mengalir, menumbuhkan semangat baru bagi hak-hak perempuan muda. Dalam
perjuangan yang penuh liku dan tantangan, keputusan hukum ini menjadi sinar
pertama yang menerangi jalan panjang menuju keadilan dan kebebasan. Bacalah
lebih lanjut untuk menyelami perjalanan heroik ini, di mana setiap langkah
kecil menjadi gema besar bagi masa depan yang lebih cerah.
Editorial Report
Pernikahan Anak di Pakistan: Masalah yang Belum Terselesaikan
1. Pengantar
Pernikahan anak masih menjadi masalah serius di Pakistan, meskipun
pemerintah telah melarangnya secara resmi. Data dari tahun 2017 hingga 2018
menunjukkan bahwa satu dari lima (18,3%) anak perempuan di Pakistan menikah
sebelum usia 18 tahun. Mayoritas dari mereka beragama Kristen atau Hindu, yang
merupakan sekitar 3,5% dari populasi negara yang mayoritas beragama Islam.
Lebih dari setengah dari anak-anak perempuan ini hamil saat masih di bawah
umur.
2. Kendala Hukum dan Penegakan
Undang-undang yang diskriminatif dan kurangnya penegakan hukum menjadi
kendala utama dalam upaya menghapus praktik pernikahan anak. Meskipun banyak
pernikahan anak diatur oleh keluarga, setiap tahunnya diperkirakan 1.000 anak
perempuan diculik, dipaksa masuk Islam, dan dinikahkan secara paksa dengan
penculiknya. Anak-anak perempuan ini menghadapi risiko tinggi komplikasi
kesehatan terkait kehamilan dan kematian ibu.
3. Perubahan Hukum yang Penting
Pada bulan April, Pengadilan Tinggi Lahore membatalkan ketentuan
Undang-Undang Pembatasan Perkawinan Anak tahun 1929, yang menetapkan usia
minimum untuk menikah adalah 16 tahun untuk anak perempuan dan 18 tahun untuk
anak laki-laki. Pengadilan mengarahkan provinsi Punjab untuk merevisi
undang-undang tersebut dengan menetapkan usia minimum yang seragam yaitu 18
tahun untuk kedua jenis kelamin. Putusan ini mengutip jaminan konstitusi
Pakistan atas kesetaraan gender dan perlindungan hak-hak perempuan dan
anak-anak, serta menyajikan data yang menunjukkan bagaimana kehamilan remaja
merupakan salah satu penyebab utama kematian bagi anak perempuan berusia 15
hingga 19 tahun.
4. Tantangan Implementasi
Meskipun keputusan pengadilan ini merupakan langkah maju yang penting,
tantangan dalam penegakan hukum masih ada. Setelah keputusan tersebut, Majelis
Provinsi Punjab memperkenalkan rancangan undang-undang yang memberikan hukuman
berat bagi orang dewasa yang melakukan pernikahan anak dan bagi mereka yang
memfasilitasinya, termasuk orang tua atau wali. Pelanggar dapat menghadapi
hukuman penjara hingga dua tahun dan/atau denda besar hingga 2 juta rupee
Pakistan (sekitar $7,200 USD).
5. Dukungan dan Skeptisisme dari Komunitas Kristiani
Banyak kelompok Kristen dan kelompok minoritas agama lainnya mendukung
undang-undang ini dan berterima kasih atas keputusan pengadilan. Namun, tidak
semua orang yakin dengan keefektifannya. Beberapa pemimpin Kristen merasa bahwa
perubahan hukum saja tidak cukup untuk menghentikan praktik pernikahan anak dan
pemaksaan pindah agama. Mereka menekankan pentingnya perubahan dalam pola pikir
masyarakat dan penegakan hukum yang lebih efektif.
6. Langkah Selanjutnya
Untuk benar-benar menghentikan praktik pernikahan anak, diperlukan
perubahan total dalam masyarakat. Ini termasuk pendidikan masyarakat, pelatihan
hakim dan pejabat, serta menantang keyakinan agama yang membenarkan pernikahan
anak. Upaya ini memerlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan
komunitas di seluruh negeri.
Kesimpulan
Keputusan Pengadilan Tinggi Lahore merupakan langkah penting dalam upaya
melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak di Pakistan. Namun, untuk
benar-benar menghentikan praktik pernikahan anak, diperlukan upaya multilateral
yang melibatkan perubahan hukum, penegakan yang efektif, dan perubahan dalam
pola pikir masyarakat. Dengan kerja sama yang kuat antara pemerintah,
masyarakat sipil, dan komunitas, harapan untuk mengakhiri praktik buruk ini
bisa menjadi kenyataan.
Refleksi dan Seruan Gembala
Saat kita merenungkan perjuangan panjang untuk mengakhiri pernikahan
paksa di Pakistan, marilah kita melihat ke dalam hati kita sendiri dan bertanya
bagaimana kita dapat menjadi agen perubahan bagi mereka yang tertindas. Sebagai
umat yang dipanggil untuk mencintai dan melindungi sesama, kita harus berdiri
teguh dalam iman dan tindakan. Kita dipanggil untuk menyuarakan keadilan bagi
yang lemah dan memberikan pengharapan bagi mereka yang kehilangan harapan.
Dalam setiap langkah kecil yang kita ambil, kita menapaki jalan yang telah
ditunjukkan oleh Kristus, yang mengajarkan kita tentang kasih dan keadilan.
"Sebab Aku lapar dan kamu memberi Aku makan; Aku haus dan kamu memberi Aku
minum; Aku seorang asing dan kamu memberi Aku tumpangan" (band. Matius 25:35). Marilah kita bersama-sama menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik
bagi semua anak-anak Tuhan. Amin.
Overseas source: christianitytoday (31/5/2024)
Rewritten by: Jtadmin
Editor : Jtadmin